Senjata Pusaka Prabu Anom
Kujang merupakan senjata tradisional berbentuk unik yang berasal dari Jawa Barat. Secara etimologi, “kujang” berasal dari “kudi” dan “hyang”. “Kudi” berasal dari bahasa Sunda kuno konon yang bermakna sebuah senjata atau jimat yang memiliki kekuatan gaib. Sementara, “hyang” berarti dewa atau sesuatu yang dianggap Tuhan. Jadi, secara harfiah kujang bisa dimaknai sebagai senjata pusaka yang bisa memiliki kekuatan dewa.Dalam kehidupan sehari-hari, fungsi kujang tidak terlepas dari pola hidup masyarakat Jawa Barat yang agraris. Kujang merupakan alat yang digunakan untuk kegiatan berladang. Pandangan tersebut didukung oleh sebuah cerita yang ada di naskah kuno berjudul Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian berangka tahun 1518 M.
Secara umum, anatomi kujang terdiri dari empat bagian, yaitu papatuk, suluh, tadah, dan mata. Papatuk merupakan bagian ujung yang tajam, eluh merupakan bagian lekukan pada punggung kujang, tadah merupakan bagian lengkungan menonjol pada bagian perut kujang, sementara mata merupakan lubang kecil pada bagian badan. Dalam perkembangannya, bagian mata sering dihiasi dengan permata yang berkilauan.
Sejalan dengan perkembangan zaman, fungsi kujang tidak lagi menjadi alat berladang. Kujang menjadi benda simbolik yang memiliki prestise dan dianggap sakral. Karenanya, saat ini kujang memiliki jenis dan variasi yang sangat beragam. Salah satu jenis kujang peninggalan kerajaan yang hanya dipakai oleh golongan pangiwa (pejabat kerajaan) adalah kujang berlubang empat.
Konon, kujang jenis ini pernah digunakan oleh Putera Mahkota Prabu Anom. Dari segi bentuk, kujang berlubang empat menyerupai bentuk kepala burung ciung. Karenanya, banyak orang yang menyebut kujang ini dengan nama kujang burung ciung. Dahulu, empat lubang yang ada pada kujang ini ditutupi emas dan perak sebagai lambang prestise orang yang memegangnya.